top of page
  • Black Facebook Icon
  • Black YouTube Icon
  • Black Instagram Icon
  • Black Pinterest Icon

An Hour to Forever - Denis dan Danis

  • Writer: opie evani aprilia
    opie evani aprilia
  • Apr 29, 2022
  • 5 min read

“Nis…”

“Iya bu…”

“Cieeeeee…”


Satu kelas langsung riuh saat Denis dan Danis sama-sama menyahuti panggilan Bu Ira, wali kelas mereka.


Seperti kehidupan sekolah pada umumnya, kisah percintaan tak akan pernah lenyap ditelan waktu. Seperti kisah Denisa dan Danis yang seringkali menjadi bahan olok-olok teman mereka karena panggilan nama yang sama.


“Jodoh nih yee…”, “awas jatuh cinta…”. Itu hanya dua ungkapan yang biasa mereka terima, masih ada kata-kata lain lagi yang menyebabkan kecanggungan diantara mereka saat menginjak usia remaja.


Dulu… saat mereka masih sama-sama satu sekolah di TK dan SD tak ada ledekan semacam itu sehingga mereka masih sangat amat nyaman berteman dengan baik. Denisa dan Danis sudah berteman sejak mereka di dalam kandungan.

Orangtua Denisa dan Danis bertetangga sebelum mereka sama-sama hamil dan melahirkan kedua anak itu. Entah sengaja atau tidak, mereka memiliki nama yang hampir mirip. Keduanya tak pernah memikirkan hal itu.


“Bu… sengaja nggak sih ngasih nama aku mirip sama Danis?” tanya Denisa suatu waktu.

“Nggak,” jawab ibu Denisa. “Emangnya kenapa sih?”.

“Denis mau ganti nama panggilan aja ah, di ledekin terus sama temen-teman,”

“Karena?”

“Karena namanya sama sama Danis, dikatain jodoh lah, nanti nikah sama dia lah, anak yang tertukar lah… banyak deh pokoknya.” Keluh Denisa.

“Emang kamu nggak mau jadi jodohnya Danis?”

“Ibu nihh… baru juga kelas 3 SMP.”


Setelah perbincangan tentang nama dengan ibunya, Denisa berusaha meyakinkan teman-temannya untuk memanggil namanya dengan panggilan Nisa. Seminggu pertama berhasil, namun minggu berikutnya panggilan “Nis” kembali. Kebiasaan memang sulit dirubah.


Sampai akhirnya Denisa dan Danis lulus dari SMP, ledekan dari teman-teman mereka masih saja ada. Karena itu Danisa meminta ibunya umtuk mendaftar di sekolah yang berbeda dengan Danis.


“Yakin mau pisah sama Danis?” tanya ibunya saat sedang memasak di dapur.

“Yakin seribu persen!” tegas Denisa. “Lagian Denis nggak mau lagi di ledekin jodohnya Danis. Apalagi kalau ada anak-anak SMP. Pasti berlanjut tuh ngeledekinnya,” tambah Denisa.


Suara piring pecah terdengar setelah Denisa menyelesaikan kalimatnya. Tentu saja Denisa dan ibunya menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Danis yang menjatuhkan piring di tangannya, entah sengaja atau tidak. Kue putu ayu sudah berserakan di lantai bercampur dengan kepingan piring.


“Danis…” panggil Denisa pada Danis yang segera berlari menjauh dari ambang pintu dapur.

Sejak hari itu, Denisa sudah tak pernah lagi melihat Danis. Kata orang tuanya Danis memutuskan untuk sekolah di Australia, ikut kakaknya yang juga sedang berkuliah disana agar bisa mandiri. Tapi Denisa tahu betul, sedikit besar perkataannya yang membuat Danis pergi jauh.


Setelah satu tahun berpisah dengan Danis, Denisa benar-benar tidak pernah bertemu dengannya lagi. Kontak yang dulu dimilikinya berubah dan ia tak berani untuk bertanya pada orang tua Danis. Ia masih merasa kepergian Danis merupakan kesalannya.


Bulan berganti dan tahun berlalu, Denisa benar-benar tak pernah bisa menemui Danis. Danispun tak pernah pulang seperti ditelan bumi dan itu membuat rasa bersalah di dalam diri Denisa tak pernah sembuh.


“Bu… Danis kok nggak pernah pulang ya?” tanya Denisa di tahun terakhir kuliahnya.

“Emang kamu nggak pernah nanya sama Tante Lala?” ibu Danisa malah balik bertanya.


Denisa terdiam tanpa menjawab pertanyaan ibunya. Ia tahu benar bahwa ia adalah sang antagonis yang tak pantas untuk dimaafkan. Kata-katanya pada Danis tujuh tahun silam akan sulit untuk dilupakan.


Denisa sangat berharap bahwa ia bisa bertemu dengan Danis secara langsung dan meminta maaf pada teman kecilnya itu, kalau perlu ia akan bersujud dan memohon agar dirinya dimaafkan.


Beberapa bulan setelah wisuda, Denisa memutuskan untuk pergi ke tanah suci. Karena dengan demikian, Denisa beranggapan ia bisa lebih tenang setelah mengadu pada tuhannya di tanah suci.


Ia berangkat sendirian tanpa ayah dan ibunya. Orang-orang yang sepertinya satu rombongan dengan Denisa sudah mulai mengisi ruang di gate keberangkatan.

“Kamu hati-hati ya,” pesan ibunya pada Denisa sebelum ia hilang bersama rombongan umrohnya.

“Iya… ibu sama ayah juga sehat-sehat disini ya,” balas Denisa.


Setelah ayah dan ibu Denisa pamit, ia segera bergabung dengan rombongannya dan mulai mendengarkan pengarahan dari ketua rombongan. Namun di tengah penjelasan, Denisa sudah tak lagi fokus pada ketua rombongan. Satu sosok telah mengalihkan pikirannya.

Danis. Denisa melihat sosok Danis di bandara.


Setelah meminta izin pada sang ketua, Denisa segera menyusul sosok lelaki yang diyakininya sebagai Danis yang ia rindukan selama ini.


“Danis!” pekik Denisa saat ia cukup dekat dengan lelaki berkemeja biru laut itu.


Perkiraan Denisa benar, lelaki jangkung itu memang Danis. Saat Danis menoleh ke arahnya, Denisa menangis seketika dan terduduk di lantai. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Danis di tempat yang tak ia duga setelah tujuh tahun lamanya.


Dengan segera Danis menghampiri Denisa yang memang dikenalnya dengan sangat baik, belum lagi pandangan seluruh pengunjung bandara tertuju padanya.


“Sssh… jangan nangis dong. Entar gue dikira culik sama orang-orang.” Pinta Danis sambil mengusap air mata Denisa.


Namun bukannya berhenti, tangisan Denisa malah makin menjadi dan membuat dirinya sesunggukan. Pertemuan ini membuat hatinya benar-benar sangat bahagia juga bersalah.


“Maafin gue Nis…” itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut Denisa setelah tangisnya reda.

“Bangun yuk. Nggak enak diliatin orang,” balas Danis dengan membantu Denisa berdiri dan sesekali mengusap air mata yang masih jatuh.


Denisa dan Danis berjalan menuju sebuah kedai kopi yang tak jauh dari posisi awal mereka. Danis memesan Chamomile tea untuk Denisa dan Earl Grey tea Latte untuk dirinya. Meski mereka mendatangi kedai kopi, minuman itu tak pernah cocok untuk perut mereka berdua.

Denisa menyesap perlahan teh yang dibawa Danis, ia masih perlu sesuatu untuk membendung air matanya agar tak terus mengucur.


“Nis…” panggil Denisa.

“Hmm…”

“Gue minta maaf…”

“Kayaknya gue deh yang harus minta maaf sama lu,”


Denisa terdiam, ia tak mengerti dengan perkataan Danis. Sudah jelas ia yang menyakiitinya. Tapi kenapa Danis malah meminta maaf padanya.


“Gue mau minta maaf karena udah bohong sama lu. Banyak kebohongan yang gue lakukan sama orang tua gue buat ngehindar dari lu,” Danis memulai penjelasannya. “Dulu… gue emang sakit hati banget sama kata-kata lu. Tapi udah gue maafin kok, serius deh… malah itu bikin gue jadi tambah serius buat mantesin diri buat lu,”


Denisa memiringkan kepalanya berusaha mempelajari ekspresi yang ditunjukkan wajah Danis. Apakah ia sedang bercanda atau malah mengerjai dirinya.


“Hah? Maksud lu?” sela Denisa.

“Selama ini gue ada di Malang, sekolah dan kuliah disana. Nggak ada tuh gue ke Australia. Coklat yang lu kirim ke rumah setiap hari juga dikirimin nyokap setiap dua minggu sekali. Thanks yaaa…” tutur Danis diakhiri dengan senyum manis di wajahnya.


Denisa terdiam untuk beberapa saat dan mencoba mencerna cerita Danis. Lalu dengan tiba-tiba ia mencubit perut Danis yang membuatnya mengaduh.


“Iiiiihhhh… ternyata yang antagonis disini tuh lu yaaa… Lu tau nggak sih gue ngerasa bersalah terus-terusan gara-gara nggak ada kabar dari lu…”


Tangis Denisa Kembali pecah. Kedua tangan putihnya menutupi wajahnya yang merah. Ia tersedu dan Danis hanya bisa mengusap punggung gadis itu.


Danis memang berbohong. Ia tak pernah pergi ke Australia apalagi sampai sekolah disana. Ia pergi ke Malang, kota kelahiran ibunya. Awalnya ia memang sakit hati karena secara tidak langsung telah ditolak Denisa, tapi ia semakin bertekad untuk kembali dan bisa diterima Denisa.


“Jadi sekarang lu udah mau jadi jodoh gue belum?” tanya Danis tiba-tiba.


Waktu seakan berhenti, dan tak ada suara lain yang bisa didengar Denisa kecuali detak jantungnya yang berdetak kian kencang setiap detiknya.


Comentarios


JOIN MY MAILING LIST

Thanks for submitting!

© 2023 by Lovely Little Things. Proudly created with Wix.com

  • YouTube
  • Pinterest
  • Instagram
  • Facebook
bottom of page