An Hour to Forever - Laras
- opie evani aprilia
- Apr 30, 2022
- 5 min read
Hujan di langit Jakarta selalu menjadi favorit Laras. Ia bisa melihat derasnya air yang turun dari meja kerjanya yang berada di lantai 42. Bagian paling menyenangkan dari hujan adalah pelangi yang muncul setelahnya.
“Bengong mulu… ayam tetangga mati ntar,” tegus Sarah pada Laras.
“Lu liat langit deh Sar… syahdu banget kan,” sahut Laras tak mengalihkan pandangannya dari langit.
“Dasar anak senja,”
Sarah melengos meninggalkan Laras yang memang terkenal sebagai anak senja. Kesehariannya tak lepas dari sosok seorang pujangga di kantor, menjadi penulis tetap di majalah adalah pekerjaan yang cocok untuknya.
Namun seorang pujangga, hujan dan senja memberikan makna yang lebih pada seorang Laras. Terdapat cerita yang tak bisa ia lupakan hinggak akhir hayatnya ditengah derasnya hujan dan senja yang datang memburu.
Sore itu saat jam kerja sudah usai, Laras tergesa untuk keluar dari kantornya karena mendapat kabar Cimoy kucingnya keracunan makanan dan harus ke dokter hewan.
Tak sengaja Laras menabrak seseorang di lorong kantor yang tak lain adalah editornya, Mas Yoga. Dengan segera Laras meminta maaf dan membungkuk beberapa kali karena menumpahkan kopi susu yang di bawa Mas Yoga.
“Mas… serius, aku minta maaf banget. Tapi aku nggak bisa tanggung jawab sekarang. Besok ya besok…” tutur Laras yang sudah hilang fokus karena terus teringat dengan Cimoy.
Yoga hanya tersenyum dan membiarkan Laras pergi. Ia tahu pasti sesuatu yang sangat penting terjadi. Buru-buru Laras menuju lift untuk segera keluar dari gedung dan memesan ojek online untuk mencapai stasiun kereta.
Sudah hampir setengah jam Laras tak bisa mendapatkan ojek online, hujan membuat permintaan sangat tinggi juga membuat orang berebut untuk mendapat layanan. Bahkan setelah Laras pindah posisi dari lobby kantor hingga ke pinggir jalan berharap aka nada yang akan mengambil pesanannya, namun nihil. Laras masih harus menunggu.
Tiba-tiba saja ditengah hujan deras itu, motor Yoga berhenti di hadapan Laras.
“Nih pake…” ucap Yoga sambil menyodorkan sebuah helm merah pada Laras yang masih memegangi gadget nya.
Laras sedikit ragu karena belum mengenali sosok yang ada di hadapannya. Namun setelah Yoga membuka kaca helmnya, Laras segera menerima helm di tangan Yoga.
Setelah semua siap, motor Yoga melaju dengan kecepatan sedang. Entah darimana Yoga mendapat helm dan jas hujan untuk Laras. Yang jelas, saat ini gadis itu sudah aman di atas motor Yoga.
Tak ada obrolan yang berarti antara Yoga dan Laras karena hujan yang membuat suara mereka teredam. Hanya ada pertanyaan seputar alamat dan patokan arah menuju rumah Laras, itupun mereka harus setengah berteriak.
“Makasih ya mas… hari ini nyusahin banget deh. Udah kopinya ditumpahin kena baju pula, sekarang malah dianterin pulang. Padahal Pasar Rebo sama Depok kan lumayan jaraknya,” tutur Laras saat ia sudah tiba di halaman rumahnya.
“No worries, Ras. Kita kan harus saling bantu. Kamu mau jalan lagi kan? Ayok buru, sekalian aku anter.
Laras terdiam, ia tak yakin. Apakah ia harus menerima tawaran Yoga atau tidak.
“Heh! Malah bengong, nanti kucingnya keburu sekarat loh.” Tegur Yoga yang melihat Laras melamun sejenak.
Dengan langkah tergesa Laras segera masuk ke dalam rumah dan menggendong tas berisi Cimoy yang sudah tak berdaya.
Bergegaslah Laras dan Yoga ke klinik hewan yang ditunjukkan Laras. Mereka tiba dalam dua puluh menit dan segera memeriksakan Cimoy.
Usai urusan Cimoy selesai, Laras dan Yoga berpisah. Mereka tentu menuju ke rumah masing-masing.
Hujan sore itu membawa kenangan yang sangat membekas bagi Laras. Ia akhirnya menemukan pahlawannya. Yoga Adinata yang sangat gentle baginya juga bagi Cimoy.
Laras sungguh sangat terbawa perasaan pada sang editor. Ia sangat mengagumi Yoga bahkan setelah tiga bulan kejadian itu berlalu. Semakin hari rasa kagum itu tumbuh hingga berakhir pada perasaan suka yang menjadi.
Namun sayang, pada suatu sore yang hujan, Yoga dan Laras harus berpisah karena perihal pekerjaan. Yoga harus pindah ke Yogyakarta, kota kelahirannya untuk menggantikan editor yang secara tiba-tiba berhenti.
“Emang nggak bisa editor yang lain mas?” tanya Laras yang tentu saja tidak rela kalau Yoga perlu.
“Kebutuhan kantor Ras. Disini kan masih banyak orang. Lagian ibu mulai sakit, aku juga bisa sekalian urus ibu,” jelas Yoga seadanya.
“…” Laras tentu tak bisa menahan Yoga lebih jauh lagi. Siapalah dia yang tak punya hubungan khusus dengan Yoga selain sebagai rekan kerja. Ditambah urusan ibunya yang membuat Laras tak bisa berkeras. Ia tahu betul rasanya kehilangan seorang ibu dan ia menyesal tak bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan ibunya.
“Tapi nanti balik lagi kesini kan mas?” tanya Laras penuh harap.
“Kata Mas Indra aku bisa balik kalau sudah ada editor baru. Kan judulnya editor pengganti aja, jadi ya cuma sementara.” Jawab Yoga sesuai dengan keadaannya. “Jaga diri ya Ras” pesan Yoga sembari mengacak puncak rambut sebahu Laras.
Tentu saja perlakuan Yoga membuat jantung Laras pecah saat itu juga.
Tiga bulan telah berlalu sejak kepergian Yoga, Laras masih menjaga perasaannya untuk lelaki Yogya itu. Bahkan saat ini bertambah kuat.
Laras sudah tak sabar untuk menyambut Yoga yang akan kembali hari ini dari Yogya. Ia sampai datang ke bandara untuk menjemput Yoga. Gadis itu berdandan secantik mungkin untuk membuat impresi yang baik di hadapan pujaan hatinya.
Suasana riuh mulai terasa saat pengumuman pesawat dari Yogyakarta baru saja tiba, beberapa saat kemudian penumpang mulai berdatangan dari arah pintu kedatangan.
Wajah semringah Laras sangat terlihat jelas saat ia menangkap sosok Yoga yang terlihat sangat sehat dan dibalut kemeja biru langit pemberiannya. Hadiah perpisahan dan pengganti kemeja yang tak sengaja pernah ia tumpahi kopi.
“Gimana kabarnya mas? Kayaknya sehat banget…” tanya Laras saat Yoga sudah berada dalam jangkauannya untuk berbicara.
“I’m great Ras… ke kedai kopi yu, biar enak ngobrolnya.”
Laras segera mengangguk, setuju dengan ajakan Yoga. Dan satu hal yang pasti, selama ada Yoga, dimanapun dan kapanpun Laras akan senang-senang saja.
Kini mereka sudah duduk di salah satu meja di kedai kopi yang outletnya ada dimana-mana. Laras perlahan menyesap Earl Grey Latte kesukaannya, sementara Yoga memesan americano dingin untuknya.
Satu jam sudah berlalu, obrolan yang sangat nyaman membuat mereka lupa waktu. Laras dan Yoga tentu membahas kejadian yang mereka alami saat keduanya terpisah.
“Mas… ada hal belum pernah aku certain tau…” kata Laras tiba-tiba.
“Oh ya? Apa?” tanya Yoga. “Kamu di hire perusahaan yang gajinya lebih gede ya?” tebak Yoga dengan sangat percaya diri. Ia sangat amat tahu kalau Laras adalah penulis yang sangat potensial dan bisa bekerjan di perusahaan mana saja dengan sangat mudah.
Laras menggeleng dan tersipu.
“Terus…?” selidik Yoga.
“I actually like you mas. Really like you so much…” ungkap Laras yang membuat Yoga mematung.
Sesaat saraf Yoga lumpuh karena pengakuan Laras. Ia sedang mencerna apa yang baru saja dikatakan lawan bicaranya.
“Kamu nggak salah Ras?” tanya Yoga meyakinkan.
“I am a thousand percent sure mas,” tegasnya.
“Pertama-tama… aku mau bilang makasih karena sudah mau suka sama aku, but I’d say no. Sorry.” Balas Yoga.
“Karena?” tanya Laras menuntut penjelasan.
Yoga mengangkat tangan kirinya dan menunjukkan apa yang ada di jari manisnya. Sebuah cincin pernikahan dengan warna silver yang mengilat, dan sangat terlihat baru.
Kini giliran saraf Laras yang lumpuh untuk sesaat. Ia tak menyangka momen yang ia tunggu selama ini berakhir dengan penolakan dan kepahitan.
Laras benar-benar tak mengira kalau Yoga akan menolaknya karena sebuah pernikahan. Selama ini tak pernah ada kabar apapun kecuali tentang ibu Yoga yang sudah meninggal sebulan lalu.
“Ini adalah pernikahan yang direncanakan Ras. Tapi aku tetap bahagia bisa menuhin harapan terakhir ibu.” Tutur Yoga. “Sekali lagi makasih atas perasaan kamu, tapi maaf aku nggak bisa balas,” lanjutnya sembari menepuk lembut bahu Laras yang sedikit berguncang.
Laras tak kuasa menahan tangis. Ia berlari ke toilet secepat yang ia bisa agar tak ada orang yang melihat air matanya jatuh.
Comments