An Hour to Forever - Karin
- opie evani aprilia
- Apr 28, 2022
- 3 min read
Butuh empat belas tahun, untuk gue bisa mengeluarkan semua yang ada di dada gue selama ini. Hebat kan? Karena katanya, seorang lelaki bisa menyembunyikan amarahnya selama empat puluh tahun pada seorang wanita, namun tak bisa menyembunyikan perasaan cintanya pada wanita tersebut walau sehari.
Hari ini, jam 8 malam, gue berencana untuk mengutarakan semua perasaan cinta gue pada Karin. Perempuan dengan tinggi standard wanita Indonesia yang udah gue taksir sejak SMP.
Gue udah ngirim pesan singkat untuk ketemuan di kedai kopi dekat rumahnya, biar dia gampang pulang. Karin bilang bisa dan mau ketemu.
Jantung gue udah nggak karuan sejak ngirim pesan ke dia. Apakah dia akan menerima gue atau tidak? Atau paling nggak, gue nggak tahu reaksi apa yang akan gue terima saat gue bilang suka sama dia.
Gue dan Karin ketemu di SMP saat dia jadi anak baru di sekolah gue. Anaknya cuek sekali cenderung tomboy. Kulit aslinya yang putih nggak keliatan pas SMP karena dia banyak main layangan sama gue, belum lagi main gundu dan nyolong mangga Pak Haji Asep. Tapi gue suka suka aja sama dia karena asyik diajak temenan.
Makin hari menuju tahun terakhir di SMP, Karin mulai keliatan bening karena udah mulai kenalan sama yang namanya skin care.
Saat itu gue tersadar kalau perasaan suka gue bukan cuma perasaan suka karena temenan, tapi suka seorang bocah laki-laki ke bocah perempuan. Tapi lagi, karena perasaan nggak enak dan nggak ingin ditinggalkan, gue lebih memilih untuk memendam perasaan gue sendiri dan menunggu Karin sadar. Tapi sampai sekarang anak itu nggak pernah sadar dan gue memutuskan untuk maju ke medan tempur percintaan malam ini.
Gue dandan rapi biar Karin nggak jijik pas gue bilang suka sama dia, karena ini akan jadi kenangan buat kami selamanya. Jantung ini masih deg deg an dan makin parah, tapi bibir gue nggak berhenti senyum. Gue bener-bener nggak sabar buat ketemu Karin.
“Tumben…”. Itu kata pertama yang keluar dari mulut Karin waktu gue nyamperin dia yang udah nangkring entah dari jam berapa.
Gue cuma bisa nyengir tanpa bisa balas apa-apa lagi karena grogi banget. Tangan gue menyambar kursi bar di samping Karin dan segera duduk.
“Udah lama?” tanya gue basa-basi dan coba ngusir deg-deg an yang makin jadi.
“Lumayan,” sahut Karin singkat. “Pesen gih,” suruhnya sambil noleh ke meja barista.
Gue geleng pelan sambal senyum. Boro-boro mau minum deh, sekarang gue lagi dag dig dug ser parah.
“Jadi apaan yang mau lu omongin?” tanya Karin yang emang nggak pernah suka sama basa-basi.
“Mmhh…” gue masih ragu.
“Jangan bilang lu suka sama gue yaaa…” tembak Karin tanpa ada aba-aba.
“Hah…” gue tercengang seketika dengan wajah bloon.
“Iyaaaa. Jangan suka sama gue,” ulang Karin yang sangat jelas di kuping gue.
“Ke-kenapa?” tanya gue terbata.
“Cek handphone lu,” pinta Karin sambil melirik ke saku celana gue yang menonjol.
Dengan segera gue merogoh saku celana dan membuka notif pesan yang dikirim Karin. Gue membuka tautan yang ada di dalam pesan. Saat itu juga hati gue hancur se hancur hancurnya, bukan kepingan lagi, semua lebur nggak bisa diselamatkan.
Tangan gue berusahan menahan gemetar saat mata gue tertuju pada undangan pernikahan Karin dengan lelaki bernama Tio, dua minggu lagi.
“Selamat ya…” ucap gue ragu. Entah terlihat atau tidak kekecewaan gue di depan Karin, tapi dia masih senyum dan bilang makasih.
“Euh.. lu ketemu dimana sama calon suami lu?” tanya gue meredam kecewa.
“Lu inget senior gue di kantor yang tengil banget itu? Hmmm… ternyata dia tengil gara-gara caper sama gue. Yah jadilah apa yang terjadi. Hihihi.” Karin cekikikan sambil ngasih liat jari manisnya yang udah tersemat cincin entah sejak kapan.
“Oh… yang itu” sahut gue berusaha bersikap biasa aja.
Di tengah ke kaku an itu tiba-tiba aja hanphone gue bunyi. Ada nama Emen alias Reza Septian muncul di layar.
“Bentar ya,” ucap gue sambil ngasih liat layer Hp ke Karin. Dia langsung ngangguk dan biarin gue menjauh sedikit.
“Udah keluar buru,” kata Emen tanpa basa-basi.
Gue kebingungan dan memindai ruangan berusaha menemukan sosok Emen.
“Nggak usah celingukan, gue tunggu di depan. Buru!”
Emen langsung nutup telponnya tanpa membiarkan gue ngomong. Tapi telpon dari Emen bener-bener jadi penolong gue untuk keluar dari suasana canggung dan menyakitkan ini.
“Rin… Emen…”
“Udah sana. Emen nggak akan nelpon kalo nggak penting,” potong Karin sebelum gue beres ngasih alasan buat cabut.
“Lu gimana?” tanya gue yang memang beneran khawatir.
“Gampaaaang,”
“Gue cabut ya…”
“Bye…”
Saat gue melangkah keluar dari kedai kopi bercat putih itu, mata gue langsung menangkap sosok Emen yang tengah berdiri di samping motornya yang terparkir rapi di halaman kedai kopi dengan motor-motor yang lainnya.
“Ayoo…” ajak Emen mengendarai motornya dan segera melaju yang gue susul di belakangnya.
Comments