Autumn in Naejangsan 🍂🍂🍂
- opie evani aprilia
- May 1, 2021
- 7 min read
Semesta memang luar biasa, aku bahkan tak lagi bisa berkata-kata, meski ia hanya diam saja, namun ia tetap bekerja. Hanya dengan kehendak pemiliknya.
Sarafku lumpuh seketika di ujung terowongan jingga yang Tuhan ciptakan dari deretan pohon maple, dengan satu ujung lain dan entah dimana adanya. Aku bergeming, kakiku terpaku ke bumi. Dan tubuhku di serang angin musim gugur. Beku.
Aku mengira ini hanya halusinasi semata setelah puluhan malam yang aku habiskan dengan tangisan dan rintihan tak berdaya. Tapi …
Sosok itu bergerak mendekat yang membuat akupun mundur menjauh. Ia menyadarinya, dan kembali berhenti. Jarak diantara kami hanya sekitar 500 meter, aku rasa. Tapi rasanya seperti sedang berhadapan dengannya, berada dalam dekapannya, merasakan nafasnya, dan mencium aroma tubuhnya.
Aku masih membeku dan tentunya bisu. Mataku hampir belum berkedip setelah bertemu pandang dengan mata berbentuk almond berwarna coklat dengan bulu mata yang lentik itu. Lagi-lagi aku tersihir dengan tatapan matanya, namun lebih daripada itu. Tentu saja ada perasaan lain yang membuat aku tak berdaya untuk mendekatinya.
Aku membencinya.
Langit sendu menaungi Gunung Naejang sore ini. Gelap, namun tak sampai menurunkan ribuan titik air hujan. Dan aku kembali ke dalam jurang luka tak berujung yang dibuat oleh Rendi.
Lelaki yang masih kutatap dalam jarak 500 meter. Lelaki bertubuh ramping dan jangkung dengan selisih tinggi badan 10 cm denganku. Ia juga belum megalihkan pandangannya dariku, entah apa yang ada di dalam isi kepalanya. Bahagia? Atau terluka seperti aku.
Aku sudah tak tahan lagi. Aku memalingkan wajah dan pergi menjauh, setengah berlari untuk kembali ke halte bis tempat aku turun untuk datang kesini. Aku menangis. Tentu saja. Aku tersedu, dan membuat beberapa pasang mata melirik ke arahku. Pipiku basah dengan wajah merah pastinya. Kulitku yang putih membuat tangisan sekecil apapun merubah warna kulitku.
Tak sampai semenit aku berlari, aku terjebak dalam pelukan seseorang dengan syal krem yang melingkar di lehernya. Hanya itu yang bisa aku lihat karena ia membenamkan kepalaku yang berat di dadanya yang bidang. Aku sudah tak ingat lagi selain tangisan dan rasa sakit yang kian menjelma. Juga sudah tak peduli jika aku menjadi tontonan orang-orang yang datang ke Gunung Naejang sore itu.
Aku masih tak habis pikir dengan cara kerja semesta yang bisa mempertemukan aku dan Rendi disini, di gunung yang aku rasa tak pernah ia pikirkan. Dulu… kami memang pernah merencanakan liburan penuh tawa dan kebahagian ke Korea, hanya saja itu sebatas ibukota, Seoul. Kami hanya berencana untuk mengelilingi istana dan beberapa daerah yang terkenal karena dekorasi cafenya di Seoul. Tak lebih daripada itu, bahkan kami tak pernah memikirkan daerah pinggiran ibukota untuk dikunjungi. Tapi…
Ini Korea Selatan dan ini gunung Naejang, jaraknya 3 jam perjalanan dengan bus dari Seoul. Gunung ini berada di selatan Seoul. Dan bagaimana bisa Rendi ada disini? Di hadapanku yang berusaha untuk menjauh darinya. Pergi ke negara impian kami untuk berlibur namun dengan tujuan yang berbeda, kali ini.
“Ije geumanhaja” (Cukup. Hentikan sekarang)
Satu kalimat dengan suara bass yang membuat tangisanku semakin menjadi dan tak terkendali. Kini aku mulai melingkarkan tanganku ke tubuh lelaki ber syal krem itu dan memeluknya sangat erat, seolah tak ingin lagi kehilangan. Ia pun hanya mengusap rambut sebahuku dan punggung yang kian bergetar karena tangisan.
Lima menit berlalu, sepertinya. Tangisanku mereda dan aku mulai melepaskan diri dari benteng perlindungan berbentuk dada seorang pria. Seo Jun, lelaki yang aku temui sejak aku mendarat di Korea kemarin. Lelaki yang dikenalkan Sarah karena ia tak bisa menemaniku selama ada di Korea.
Kutatap lekat-lekat mata yang bersembunyi dibalik kelopak mata yang tipis, wajah seputih salju dengan senyuman yang hangat, lesung pipi membuat wajahnya bertambah manis. Aku mungkin akan segera jatuh cinta jika sikapnya terus seperti ini.
Rendi sudah hilang dari pandangan saat aku memberanikan diri untuk mengintip dibalik tegapnya badan Seo Jun, dan mataku kembali teralihakan pada wajahnya yang masih tersenyum. Hanya terima kasih yang bisa aku ucapkan saat itu.
Seo Jun meraih tanganku dan meletakannya di dalam saku coatnya yang tebal, aku tak menolak. Rasanya tak ada lagi energi dalam diriku, bahkan untuk berjalanpun rasanya aku harus menyeret paksa tubuhku. Kami berjalan berdampingan dintara terowongan maple yang semakin memerah, beberapa daunnya berguguran indah menerpa kami sesekali. Kami tak bersuara, bahkan Seo Jun tak bertanya apa yang telah terjadi padaku.
Paviliun Uhwajeong adalah tempat yang ingin ditunjukan Seo Jun padaku, pantulan daum maple terlihat di danau yang mengelilingi paviliun. Ia memintaku untuk melihat pantulan wajahku di danau. Aku tak pantas untuk di sia-siakan, katanya. Dan aku hanya tersenyum. Tetap saja, pemilik semesta menginginkan aku untuk melalui patah hati terparah dalam hidup.
Pada akhirnya aku menceritakan cinta tanpa restu antara aku dan Rendi. Hal yang sangat umum ditemui di masyarakat kami, bahkan sampai dengan hari ini. Hari dimana kita sudah bisa bertemu hanya dengan mengusap layar ponsel pintar kita. Aku menarik nafas panjang sebelum Seo Jun melepaskan syalnya dan melingkarkannya di leherku, dan aku kembali berterima kasih.
Beberapa kali aku menatap wajah putih itu dan tertangkap basah, dan Seo Jun hanya bisa tertawa saat menangkap mataku yang terus memandangi wajahnya. Tentu saja ada sesuatu pada dirinya yang ingin aku ketahui dengan terus memperhatikan wajahnya.
Akhirnya ia bertanya, apakah ada yang salah dengan wajahnya. Atau bahkan apakah ada sesuatu yang menempel pada wajahnya, namun akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya akan hal yang terus berputar di dalam kepalaku.
Mengapa Seo Jun bisa ada di sini? Kami baru bertemu kemarin di bandara saat ia menjemputku. Lalu ia pergi setelah mengantarkanku ke hotel, dan ia baru kembali untuk mengajakku pergi makan malam. Tak ada rencana diantara kami untuk menghabiskan waktu bersama. Bahkan tak terpikir olehku untuk ditemani selama aku berada di Korea. Aku hanya ingin sendiri.
Akhirnya Seo Jun menceritakan semuanya padaku di kereta gantung saat kami tengah menikmati hamparan kuning Gunung Naejang, ternyata Sarah temanku sudah memberinya wejangan untuk menjagaku selama ada di negara impian yang ingin aku kunjungi bersama Rendi. Karena suasana hatiku yang sedang patah dan ia berpikir bahwa aku akan melakukan hal yang konyol.
Aku tertawa pada akhirnya. Aku memang patah dan kecewa, tapi akal sehatku masih bekerja dengan sangat baik. Tidak mungkin aku melakukan hal konyol seperti menyakiti diri atau bahkan bunuh diri, hanya karena putus cinta. Ku anggap kisahku dan Rendi sebagai pengalaman hidup untuk menemukan seseorang yang lebih baik lagi. Dan lagi-lagi aku berterima kasih pada Seo Jun yang ada di saat puncak patah hatiku menjelma.
Setelahnya, Seo Jun tak mengungkit kisah cintaku, ia cukup peka bahwa aku ingin menguburnya. Kamipun beralih ke cerita wamil (wajib militer) Seo Jun yang baru saja selesai pekan lalu, ditemani ttokppoki pedas yang menjadi makanan kegemaran masyarakat Korea. Setelahnya kami berkeliling di pasar Taman Nasional Gunung Naejang, sekedar untuk melihat apakah ada benda yang bisa aku bawa pulang.
Sayatan luka kasat mata masih ada, tentu saja. Aku bertemu dengan lelaki yang sangat aku cintai di negara tempat kami ingin pergi untuk berbahagia suatu hari nanti. Namun sebelum hari itu datang, ada hari tergelap dalam hidupku mendahului. Cinta tanpa restu sebab perbedaan suku, aku sudah harus cukup puas dengan hubungan kami yang hanya 6 bulan saja.
Namun di Korea pula aku menemukan benteng tempat aku bisa bersembunyi dari kejamnya dunia luar. Seo Jun. Lelaki yang sedang tersenyum hangat padaku saat ini dengan jemari yang terselip di celah jemariku.
Satu tahun berlalu setelah aku bertemu dengan Rendi di Gunung Naejang, kali ini aku kembali dengan perasaan yang berbeda. Perasaan merindu dan tenggelam dalam lautan cinta yang aku terima dari Seo Jun. Seseorang yang melindungiku dari duri cinta yang aku temui, kami berjanji untuk bertemu di sini pada akhir Oktober yang cerah.
Selasa pagi, kami berjanji untuk bertemu di Paviliun Uhwajeong tanpa pergi bersama. Seo Jun perlu membeli sesuatu, katanya. Dan akhirnya kami pergi terpisah.
Aku kembali mengingat apa yang telah terjadi tahun lalu di depan terowongan maple tempat aku berdiri saat ini. Aku tersenyum mengingat kebodohanku yang menangis di tempat umum, dan terus melanjutkan perjalananku menyusuri terowongan maple untuk sampai di Paviliun Uhwajeong.
Sesekali aku berhenti untuk menikmati hamparan daun yang berguguran dan mengambil beberapa foto. Ada sungai kecil yang mengalir tenang, dan aku tahu muaranya di danau tempat Paviliun Uhwajeong berada.
Udara musim gugur begitu pekat tercium oleh indra penciumanku dan mengembalikan semua ingatanku tahun lalu. Perih dan bahagia dalam waktu yang bersamaan. Rendi yang pergi dan Seo Jun yang datang.
Seo Jun mengaku sudah menyukaiku pada pandangan pertamanya saat menjemputku di bandara, namun ia baru menyatakan perasaannya di bandara saat mengantarku kembali ke Jakarta. Aku terima dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Masa percobaan tiga bulan, dan ia bisa melaluinya.
Hubungan jarak jauh yang kami jalani terbilang lancar dengan sedikit adanya pertengkaran kecil yang berujung dengan bertambahnya perhatian satu sama lain. Dan aku masih mempercayainya yang belum berubah sejak pertemuan pertama kami, tidak mudah memang, tapi kali ini aku berusaha lebih percaya.
Paviliun Uhwajeong sudah ada di depan mata, Seo Jun yang mengaku harus membeli sesuatu sudah ada di sana. Tangannya terbuka lebar saat melihat kedatanganku. Kami melepas rindu setelah 12 bulan lamanya yang hanya bertemu melalui face app. Ada letusan gunung berapi di dada kami, aku bahkan bisa mendengar suara detak jantungnya yang tak beraturan. Pun dengan milikku.
Kami tetap memeluk satu sama lain untuk beberapa saat. Kau tak bisa bayangkan perasaan merindu selama satu tahun lamanya tak bertemu, aku bahkan menangis karena tak percaya bisa menemui lelaki berkulit salju ini. Seo Jun tak melepas pelukannya, tapi ia membalik badanku menghadap danau dengan lengan yang masih melingkar di bahuku. Dan tentu saja kami bertukar kabar meski sering kami lakukan melalui ponsel pintar kami.
Perasaan yang tak bisa dijelaskan, perasaan bahagia yang membuncah menemui cinta yang kuharap bisa menjadi cinta terakhir dalam hidupku. Tanpa ada lagi air mata keperihan. Aku bersandar di dadanya yang kurasakan semakin bidang dibanding terakhir kali kami bertemu.
Ia meraih tangan kiriku dan mencium punggungnya sesekali, hal konyol membahagiakan bagiku, aku hanya bisa tersenyum dan menerimanya. Lalu ia mengembalikan tanganku dengan sesuatu yang berkilau tersemat dijari manisku. Kubalik tubuhku dan memeluknya erat, seerat simpul mati yang tak ingin terpisah. Kurasakan hal yan sama, ia memelukku sama eratnya. Setelahnya Seo Jun berbisik…
“Narang kyorhonhaejwo” (aku mau kamu nikah sama aku)
Aku tersipu tak percaya. Sungguh satu tahun yang tak sia-sia. Satu hari bahagia lain di negara impianku. Dan aku balas berbisik. “I DO”.
Comments