Sedang Sayang-Sayangnya ššš
- opie evani aprilia
- Jan 22, 2021
- 9 min read
Boleh sambil di play video nya yaa~~~
Ada tahun-tahun dimana aku benar-benar tak ingin membalas tatapan lelaki manapun. Karena hatiku yang masih terpenjara dalam bualan seseorang yang dengan mudahnya masuk, tinggal dan pergi begitu saja.
Tahun-tahun yang menjengkelkan dan menyakitkan hatiku harus menerima kenyataan bahwa Deri yang aku puja hilang begitu saja tanpa adanya berita bahwa ia masih mencinta atau tidak.
Satu tahun sebelumnya.
āKosong kan?ā
Aku melirik sumber suara yang tak jauh dariku. Seorang lelaki jangkung dengan kulit sawo matang yang eksotis dengan lesung di pipi kirinya. Dan aku mengangguk acuh tanpa memperhatikan apa yang dilakukannya.
Satu jam berlalu saat kelas les ku berakhir kami bertemu lagi di parkiran.
āAnya ya.ā
āHeem.ā Aku tersenyum seperlunya dan hendak memakai helmku.
āPulang kemana?ā
āDago.ā
āBoleh bareng ga?ā
āBareng?ā
Sungguh tak terduga, aku kira dia ke parkiran untuk mengambil motornya. Aku mengurut kening dengan tingkahnya yang tiba-tiba.
āTapi gue mau BIP dulu.ā
āNggak apa-apa.ā
Nggak apa-apa! Aku mulai tak terkendali. Orang ini tak tahu diri atau kekurangan asupan kedalam otaknya. Mana ada orang asing yang baru pertama bertemu meminta begitu banyak hal.
āPleaseā¦ā
Aku melongo. Entah bagaimana lagi untuk menolaknya hingga akhirnya kusodorkan helm cadangan yang selalu ada di bagasi motor.
āTapi lu yang bawa.ā
āAku cuma ada SIM A.ā
What. Rasanya ingin aku benturkan helmku ke kepalanya.
āOk.ā
Aku menahan segalanya. Dengan hati yang kesal aku sedikit ngebut di jalanan yang masih lengang karena jam masih menunjukan jam 3.
āNggak jadi ke BIP?ā Tanya Deri. Iyah Deri, aku mengingat namanya saat ia memperkenalkan dirinya di kelas.
āGue inget yang mau dibeli ternyata masih ada.ā
Tentu saja BIP hanya pengalihan. Siapa juga yang ingin bepergian hanya seorang diri. Tak sadar aku sudah sampai dirumah dan lupa kalau Deri ikut karena mengabaikannya.
āMakasih ya.ā Deri menaruh helm nya di atas jok belakang dan tersenyum sebelum berlalu dari hadapanku.
āTunggu-tungguā aku menarik lengannya āgue lupa nanya. Lu balik kemana? Maen balik aja ke rumah.ā
āAku tinggal di sebelah?ā
āRumah kosong?ā
āUdah enggak.ā
Aku terdiam melihat rumah sebelah yang sudah kosong selama bertahun-tahun, juga mencerna perkataan Deri yang kini tinggal di rumah itu. Rasanya ada yang janggal karena rumah itu sangat menyeramkan.
āLu bukan vampire atau sebangsanya kan?ā Aku mengernyitkan dahi karena imajinasiku yang sudah pergi kemana-mana.
āPengen sih jadi bangsa vampire, sayanganya kulitnya nggak kaya Edward Cullen.ā
āIsshā¦ā aku mendesis dan pergi meninggalkannya.
Kulempar tasku sembarang di sudut kamar dan menjatuhkan diri diatas kasur dengan sprei bermotif bunga peony pilihan ibu. Aku memejamkan mata, berusaha hilang kedalam dunia mimpi untuk beristirahat meski sejenak.
Tapi tiba-tiba saja mataku memaksa untuk terbuka dan segera menuruni tangga menghampiri ibu yang sedang sibuk dengan kerajinan merajutnya.
āBu, sejak kapan rumah sebelah ada isinya?ā
āOrang kosong ko. Kamu ngingau kali atau cuma ada di mimpi kamu.ā
Aku berbalik menuju dapur untuk mendapat segelas air. Kepalaku masih menggeleng ke kiri dan ke kanan, masih memikirkan Deri yang bilang tinggal di rumah sebelah. Tapi ibu tidak tahu, padahal ibu ada di rumah seharian. Aku menenggak gelas kedua untuk menenangkan diri, berusaha menghilangkan fantasiku tentang vampire dan makhluk-makhluk yang tak tampak.
āNyaaaaa.ā
Itu suara ibu yang sudah kudengar selama hampir 23 tahun lamanya. Aku segera menghampiri ibu jika tak ingin nada suaranya meninggi. Ibu sedang memasak untuk makan malam kami saat aku mendatanginya.
āKenapa bu?ā
āAnter ini ke rumah sebelah dong.ā
āKata ibu rumah sebelah kosong.ā
āBaru diceritain ayah baru diisi kemarin lusa pas ibu arisan ke rumah Bu Dana.ā
Kuraih nampan yang disodorkan ibu. Ada seperangkat makan malam yang juga akan kami makan malam ini. Dan sebelum itu aku diminta untuk mengantar makanan ini ke tetangga baru. Kasian katanya, sendiri dan masih muda. Tentu saja itu Deri.
Kuketuk pintu putih tulang yang kusam untuk membuat penghuninya keluar. Pada ketukan ketiga gagang pintu terdengar dan bergerak. Pintu terbuka dan wajah Deri yang coklat menyembul dibalik pintu.
āPlease.ā Deri membuka pintu selebar-lebarnya dan memberi isyarat agar aku masuk dengan tangannya yang menunjuk ruang tamu yang segera terlihat dari ambang pintu.
āNggak usah. Gue mau nganterin ini aja dari ibu. Lagian gue mau buru-buru makan. Bye.ā
Kupaksa Deri untuk menerima nampan yang kubawa tanpa menghiraukan niat baiknya untuk mempersilakan tamunya untuk duduk atau menerima segelas air sebagai tatakrama yang biasa dilakukan.
Aku kembali saat ayah dan ibu sudah rapi di meja makan kami yang minimalis dan siap untuk melahap masakan ibu sore ini. Tak banyak yang kami bicarakan di meja makan selain kursus Bahasa Inggris yang sengaja aku ambil untuk mengikuti test IELTS guna menggenapi persyaratan beasiswa S2 ku.
Kamar menjadi tujuanku berikutnya setelah selesai membantu ibu mencuci semua piring kotor yang kami pakai untuk makan malam, sementara ibu dan ayah sudah bersiap untuk menonton acara TV kesayangan mereka.
Hpku berdering. Nomor tak dikenal. Aku tak menerimanya, tak ada alasan untuk menerima telepon dari nomor yang tidak aku simpan.
āItās me Deri.ā
Menit berikutnya malah pesan Whatsapp yang aku terima. Aku menangkupkan HP tak ingin melihatnya dan sibuk dengan semua simulasi soal yang ada di hadapanku. Dua jam telah berlalu, aku tak menyadarinya. Jam pink yang juga pilihan ibu sudah menunjukan pukul 9 dan sudah waktunya aku membersihkan diri sebelum terjun diatas kasurku.
Kudengar suara cicit burung yang masih sering terdengar di pagi hari, dan itu tandanya aku harus bangun dan meminum susu pagiku.
āHari ini nggak les kan. Ikut ibu yu ke rumah Tante Mira.ā
āNo thanks. Anya mau rebahan sambil kerjain soal latihan.ā
āNgebet banget kamu.ā
āKalo Anya bisa dapet beasiswanya kan ibu juga yang bangga. Ya kan yah.ā
Ayah hanya mengangguk dan sibuk dengan koran langganan kami di tangannya seraya menyesap teh melati yang tentunya disiapkan ibu. Keluarga kami tak memiliki kebiasaan sarapan, kami hanya perlu mengisi perut dengan teh, susu atau kopi.
Rumah sudah sepi, ibu berangkat pagi sekali dengan ayah. Searah ke kantor ayah katanya, lumayan tidak usah nyetir sendiri. Dan aku kembali tenggelam dalam soal yang sangat aku senangi saat ini, aku bahkan jatuh cinta pada setiap baris soal yang jumlahnya tidak kurang dari 50 ini.
Senyumku hilang saat suara bel berbunyi, sungguh sangat meganggu saat aku sedang berduaan dengan kesayanganku. Kulirik jam dengan jarum di angka 3 dan 4 sebelum beranjak dari kasurku menuju pintu yang sengaja aku kunci tentunya. Deri dan piring ibu yang diisinya dengan buah ada di depan pintu.
āThank you.ā Ia menyodorkan nampan dan piringnya.
āYouāre very welcome.ā
āNggak nawarin masuk?ā
āMau banget?ā
āIya lah.ā
āBahaya ngundang orang asing masuk ke rumah.ā
āI donāt wanna be stranger for you.ā
āI do.ā
Kutinggalkan Deri dengan nampan di tanganku, sebelum naik kembali ke kamarku dapur menjadi perhentian pertama untuk meletakkan nampan dan piring yang berisi buah. Aku kembali duduk di meja belajarku dan kembali dengan semua kertas-kertas di atas meja, aku hanya bertahan selama 5 menit saja. Dan akhirnya bangkit dari dudukku dan mendatangi jendela hanya untuk memastikan kalau Deri sudah tak ada disana. Tapi aku salah, ia masih berkeliaran di halaman rumahku. Ia melihat taman ibu sesekali. Dan kuputuskan untuk bertahan selama 20 menit kedepan, dia pasti pergi.
Aku sudah tak bisa berkonsentrasi pada soal-soal yang begitu aku sayangi, yang ada hanya satu kata yang berputar terus dan terus dalam kepalaku. Pergi. Namun saat setelah 20 menit aku kembali melihat keluar jendela, Deri masih ada disana. Ia masih berkeliling di taman ibu dan membuatku tentu saja menjadi merasa bersalah. Apa aku terlalu kejam? Padahal tak ada hal salah yang dilakukannya.
Lima menit kemudian aku membuka pintu dan Deri masih ada disana. Ia berbalik dan tersenyum. Manis. Dan aku tersihir.
āYou may enter strangerā aku mempersilakan Deri memasuki rumah ālistenā¦ā lanjutku sebelum mempersilakannya duduk.
āAnyaā¦ā
Kami terdiam beberapa detik.
āAda tempat yang pengen aku datengin. Tapi kalo sendirian iseng banget.ā
Aku mematung. Masih belum mengerti, Deri minta untuk tak dianggap orang asing dan aku megundangnya masuk. Tapi sekarang ia sudah ingin pergi. Apa aku memang salah telah mengundangnya datang.
āWell, lu boleh pergi kalo gitu.ā
āAku mau kamu ikut.ā
āIām busy.ā
āKalo perjalanan nanti membosankan, kamu boleh nggak ngomong lagi sama aku.ā
āNanti?ā
āIya. Kamu kan bilang lagi sibuk. Sibuknya sekarang kan.ā
Otakku kehabisan oksigen, terlalu banyak kuhirup untuk asupan jantungku. Kuhela nafas panjang dan menunjuk kursi tamu kami agar Deri bisa duduk, dan setelahnya aku pergi ke dapur untuk mendapat segelas air untuk sang tamu yang baru pertama kali berkunjung.
āJadi lu mau ajak gue kemana?ā
āAku denger temen-temen pergi ke Cartil, bagus katanya. Mau kesana mumpung masih disini.ā
āMumpung?.ā
Mumpung yang aku tanyakan berakhir pada obrolan panjang kami, dan akhirnya Deri menceritakan dirinya yang berakhir di rumah kosong sebelah rumah. Rumah kosong itu milik om nya yang tinggal di German. Ia menempatinya untuk sementara waktu karena megambil training pilotnya di Bandung Pilot Academy. Sekalian dengan Bahasa Inggris, ia sedang dalam tahap negosiasi dengan airlines Singapore untuk menjadi pilot disana. Dan ia merasa Bahasa Inggris nya perlu peningkatan saat tes, hingga akhirnya kami berada di kelas yang sama di TBI.
Sudah jam 5 saat aku melirik jam di dinding ruang tamu.
āI think we better prepare now.ā Deri bangkit dari duduknya.
āAh ok.ā
Kututup pintu saat Deri pamit untuk bersiap, pun aku yang segera menuju kamar dan bersegera bersiap untuk pergi dengan Deri. Kurasa sihirnya sudah menguasaiku, hanya dalam waktu satu jam setengah kami bisa mengobrol dengan santai tanpa ada beban dan saling mengimbangi. Kami merasa bahwa kami telah saling mengenal bahkan sebelum kami dilahirkan. Semua hampir sama, dalam satu garis yang sama.
āKemana Nya?ā tanya ayah yang berpapasan denganku di pintu depan.
āAnya mau pergi sebentar. Ibu?ā
āMasih betah katanya. Mungkin nginep.ā
āAlright. Bye ayah.ā
āBye.ā
Kakiku melangkah dengan ringan menuju rumah kosong yang biasa aku hindari, tapi sekarang malah aku datangi dengan sukarela dan senang hati. Seseorang menungguku disana, mungkin akan membawaku lari entah kemana. Tapi aku tak peduli.
Deri baru saja keluar saat aku sudah ada di teras rumahnya. Ia cukup terkejut karena keberadaanku.
āAmazing.ā
āKenapa?ā
āBiasanya dandan cewek lama.ā
āGue setengah cowok.ā
Ia menahan tawa yang membuat lesung pipinya semakin terlihat, dan manis. Tak sadar aku ikut tertawa. Moment itu berlalu saat Deri mengarahkanku menuju BMW putih di samping rumah, ia membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk. Tak lupa memasangkan sabuk pengaman sebelum ia menutup pintunya.
Perlu 30 menit untuk sampai ke tempat yang dimaksud Deri. Caringin Tilu, tempat yang banyak dikunjungi orang ternyata. Tentu saja mereka ingin melihat pemandangan indah yang kami lihat saat ini. Tak heran Deri bersikeras ingin kesini, tempat ini memang layak untuk ada di dalam daftar tempat yang harus dikunjungi.
āSo, namanya Rian.ā Deri menutup pembiacaraan yang sudah berlangsung selama satu jam.
Kini giliran aku yang membeberkan kehidupanku. Termasuk Rian, lelaki yang mencampakanku 3 bulan lalu dan aku masih sangat terluka, hingga akhirnya aku menemui Deri yang sekarang. Deri yang bisa menjadi pendengar dan pembicara yang sangat baik. Bukan Deri yang pendiam saat di kelas dan hanya bertindak sebagai murid yang pasif.
āThanks.ā Kataku akhirnya karena ia sudah mau bersabar mendengarkanku.
āYouāre very welcome.ā
Deri membalik tubuhku untuk melihat hamparan kota Bandung dengan kerlap-kerlip lampu di malam hari. Ia menyampirkan jas yang dipakainya, dan memelukku dari belakang. Hangat, tentu saja. Hatikuku pun mulai menghangat.

Sumber gambar : Google
Entah bagaimana bisa aku jatuh cinta dalam hitungan jam. Apakah aku bodoh? Apakah ada yang lebih parah dari aku? Bisakah orang-orang juga jatuh cinta dalam hitungan jam atau bahkan menit? Entahlah. Aku tak ingin menghiraukannya. Aku hanya ingin menikmati waktu yang berharga bersama Deri sebelum ia pergi.
āKayaknya baru Januari ada kelanjutannya. Yang penting aku ambil training yang penting dulu.ā
Begitulah penjelasan Deri dalam perjalanan pulang kami saat aku bertanya kapan ia akan meninggalkan Bandung. Kota kelahiran ibunya.
Dalam sekejap waktu, aku bisa merubah pandanganku terhadap Deri. Aku bahkan menyukainya, saat ini. Aku mengakuinya pada diriku sendiri dan menjadi terus salah tingkah dan gugup setiap kali bersamanya.
Satu dua bulan berlalu, ibu dan ayah tak merasa heran mengapa aku dan Deri sering menghabiskan waktu bersama karena kami satu kelas di tempat les. Dan tentu saja, ada lebih banyak hal yang kami bahas daripada sekedar kelas Bahasa Inggris kami. Aku bahkan lebih banyak menjelajah Kota Kembang bersama Deri, dulu tak pernah. Aku cukup introvert hingga aku bertemu dengan seseorang yang bisa mengetuk pintu dan mengeluarkan aku dari ruangan tempat aku bersembunyi.
Deri. Lelaki yang saat ini tengah aku pandang dengan penuh perasaan cinta, dan tak ingin terpisah rasanya. Ingin seperti ini selamanya, sepertinya aku telah menjadi budak cinta yang sering diperbincangkan orang lain. Ku genggam erat tangan Deri dan tak ingin melepasnya.
āTangan aku ada lemnya ya.ā Deri mengangkat tanganku yang juga di genggamnya.
āIya⦠buktinya aku nggak bisa lepas.ā Kugoyangkan tangan yang diangkatnya.
Saat ini kami sedang berada di salah satu cafƩ di Dago, sering kami kesini setelah kelas kami selesai atau bahkan di hari-hari lain setelah Deri selesai dengan trainingnya di bandara.
āAnyaaā¦ā
āKenapa? Jangan tiba-tiba serius. Aku takut.ā
āSeneng aja manggil nama kamu sebelum aku pergi.ā
āā¦ā Aku diam.
Deri hanya tersenyum dan membelai pipiku. Ada yang aneh dengan wajahnya.
āJangan bilang kamu mau putus sama aku.ā
Deri hanya tersenyum lagi. Hanya saja⦠kini senyumannya memiliki arti lain. Ia sedih.
āAnyaaa.ā
āYou know I love you so much and it never ends. Ngerti kan.ā
āAnyaaaa.ā
Suasana sudah tak lagi sama. Semua hambar dan kacau dan aku meminta pulang.
Malam Minggu ini sungguh kelabu, berbeda dengan malam-malam Minggu yang telah berlalu. Semua terasa menyenangkan dan membahagiakan, aku dan Deri hanya berbagi suka, dan meski duka yang kami bagi, kami bisa menguatkan satu sama lain. Tapi kali ini gelagat Deri telah menunjukan bahwa ia tak lama lagi akan segera meninggalkanku setelah 3 bulan lamanya bersama.
Hari berikutnya Deri tak datang ke rumah, ia bahkan tak memberiku kabar meski hanya lewat pesan singkat atau telepon. Aku ingin menghubunginya, tapi ego dan prasangka burukku lebih besar hingga tak menghubunginya.
Aku turun karena mendengar suara selain suara ayah dan ibu. Itu Deri, ia sedang mengobrol dengan ayah dan ibu. Apakah ia merindukanku? Atau mungkin hanya menanyakan keberadaanku? Aku menyelinap menuruni tangga untuk mencuri dengar apa yang dibicarakannya dengan ayah dan ibu.
āSaya nggak ada niatan untuk bikin Anya sakit hati pa, bu. Hanya saja saya memang harus pergi, mungkin kembali atau tidak.ā
Ayah dan ibu bergeming, mereka sepertinya tak tahu harus merespon apa terhadap Deri.
āSaya senang dan bahagia sama Anya. Tak ini harus disudahi, kemungkinan saya tidak kembali yang membuat saya tidak mau menyakiti Anya lebih dalam.ā
Lagi-lagi ibu dan ayah diam. Tak ada jawaban dari mereka.
āBapak mengerti. Terima kasih banyak sudah dengan berani mengembalikan Anya dan perasaannya kepada kami secara langsung. Bapak harap kamu bisa hidup lebih baik dengan cita-cita yang sudah ada di genggaman. Kamu bisa kembali kapan saja.ā
Tak sadar aku meneteskan air mata dan berlari menuju kamar untuk menangis sepuasnya. Berusaha meredakan rasa sakit yang terus menggelitik perasaanku dan menghimpit dadaku. Mengapa Deri datang hanya untuk pergi, meski baik-baik. Ini tetap menyakitkan dan tak ada bedanya dengan Rian.
Sudah seminggu sejak Deri berpamitan, aku masih belum rela. Tentu saja. Kenangan kami tak bisa begitu saja terhapuskan meski hanya 3 bulan. Deri yang selalu ada setiap hari di sampingku, mendukung apa saja yang aku inginkan, menghapus setiap tetes air mata yang dilihatnya. Membawakan segunung kebahagian yang lebih dan lebih lagi setiap harinya, namun sekarang tak ada. Semuanya hilang dan menjadi hampa.
ComentƔrios