top of page
  • Black Facebook Icon
  • Black YouTube Icon
  • Black Instagram Icon
  • Black Pinterest Icon

Sedang Sayang-Sayangnya šŸŽŽšŸŽŽšŸŽŽ

  • Writer: opie evani aprilia
    opie evani aprilia
  • Jan 22, 2021
  • 9 min read

Boleh sambil di play video nya yaa~~~

Ada tahun-tahun dimana aku benar-benar tak ingin membalas tatapan lelaki manapun. Karena hatiku yang masih terpenjara dalam bualan seseorang yang dengan mudahnya masuk, tinggal dan pergi begitu saja.

Tahun-tahun yang menjengkelkan dan menyakitkan hatiku harus menerima kenyataan bahwa Deri yang aku puja hilang begitu saja tanpa adanya berita bahwa ia masih mencinta atau tidak.


Satu tahun sebelumnya.

ā€œKosong kan?ā€

Aku melirik sumber suara yang tak jauh dariku. Seorang lelaki jangkung dengan kulit sawo matang yang eksotis dengan lesung di pipi kirinya. Dan aku mengangguk acuh tanpa memperhatikan apa yang dilakukannya.

Satu jam berlalu saat kelas les ku berakhir kami bertemu lagi di parkiran.

ā€œAnya ya.ā€

ā€œHeem.ā€ Aku tersenyum seperlunya dan hendak memakai helmku.

ā€œPulang kemana?ā€

ā€œDago.ā€

ā€œBoleh bareng ga?ā€

ā€œBareng?ā€

Sungguh tak terduga, aku kira dia ke parkiran untuk mengambil motornya. Aku mengurut kening dengan tingkahnya yang tiba-tiba.

ā€œTapi gue mau BIP dulu.ā€

ā€œNggak apa-apa.ā€

Nggak apa-apa! Aku mulai tak terkendali. Orang ini tak tahu diri atau kekurangan asupan kedalam otaknya. Mana ada orang asing yang baru pertama bertemu meminta begitu banyak hal.

ā€œPleaseā€¦ā€

Aku melongo. Entah bagaimana lagi untuk menolaknya hingga akhirnya kusodorkan helm cadangan yang selalu ada di bagasi motor.

ā€œTapi lu yang bawa.ā€

ā€œAku cuma ada SIM A.ā€

What. Rasanya ingin aku benturkan helmku ke kepalanya.

ā€œOk.ā€

Aku menahan segalanya. Dengan hati yang kesal aku sedikit ngebut di jalanan yang masih lengang karena jam masih menunjukan jam 3.

ā€œNggak jadi ke BIP?ā€ Tanya Deri. Iyah Deri, aku mengingat namanya saat ia memperkenalkan dirinya di kelas.

ā€œGue inget yang mau dibeli ternyata masih ada.ā€

Tentu saja BIP hanya pengalihan. Siapa juga yang ingin bepergian hanya seorang diri. Tak sadar aku sudah sampai dirumah dan lupa kalau Deri ikut karena mengabaikannya.

ā€œMakasih ya.ā€ Deri menaruh helm nya di atas jok belakang dan tersenyum sebelum berlalu dari hadapanku.

ā€œTunggu-tungguā€ aku menarik lengannya ā€œgue lupa nanya. Lu balik kemana? Maen balik aja ke rumah.ā€

ā€œAku tinggal di sebelah?ā€

ā€œRumah kosong?ā€

ā€œUdah enggak.ā€

Aku terdiam melihat rumah sebelah yang sudah kosong selama bertahun-tahun, juga mencerna perkataan Deri yang kini tinggal di rumah itu. Rasanya ada yang janggal karena rumah itu sangat menyeramkan.

ā€œLu bukan vampire atau sebangsanya kan?ā€ Aku mengernyitkan dahi karena imajinasiku yang sudah pergi kemana-mana.

ā€œPengen sih jadi bangsa vampire, sayanganya kulitnya nggak kaya Edward Cullen.ā€

ā€œIsshā€¦ā€ aku mendesis dan pergi meninggalkannya.

Kulempar tasku sembarang di sudut kamar dan menjatuhkan diri diatas kasur dengan sprei bermotif bunga peony pilihan ibu. Aku memejamkan mata, berusaha hilang kedalam dunia mimpi untuk beristirahat meski sejenak.

Tapi tiba-tiba saja mataku memaksa untuk terbuka dan segera menuruni tangga menghampiri ibu yang sedang sibuk dengan kerajinan merajutnya.

ā€œBu, sejak kapan rumah sebelah ada isinya?ā€

ā€œOrang kosong ko. Kamu ngingau kali atau cuma ada di mimpi kamu.ā€

Aku berbalik menuju dapur untuk mendapat segelas air. Kepalaku masih menggeleng ke kiri dan ke kanan, masih memikirkan Deri yang bilang tinggal di rumah sebelah. Tapi ibu tidak tahu, padahal ibu ada di rumah seharian. Aku menenggak gelas kedua untuk menenangkan diri, berusaha menghilangkan fantasiku tentang vampire dan makhluk-makhluk yang tak tampak.


ā€œNyaaaaa.ā€

Itu suara ibu yang sudah kudengar selama hampir 23 tahun lamanya. Aku segera menghampiri ibu jika tak ingin nada suaranya meninggi. Ibu sedang memasak untuk makan malam kami saat aku mendatanginya.

ā€œKenapa bu?ā€

ā€œAnter ini ke rumah sebelah dong.ā€

ā€œKata ibu rumah sebelah kosong.ā€

ā€œBaru diceritain ayah baru diisi kemarin lusa pas ibu arisan ke rumah Bu Dana.ā€

Kuraih nampan yang disodorkan ibu. Ada seperangkat makan malam yang juga akan kami makan malam ini. Dan sebelum itu aku diminta untuk mengantar makanan ini ke tetangga baru. Kasian katanya, sendiri dan masih muda. Tentu saja itu Deri.


Kuketuk pintu putih tulang yang kusam untuk membuat penghuninya keluar. Pada ketukan ketiga gagang pintu terdengar dan bergerak. Pintu terbuka dan wajah Deri yang coklat menyembul dibalik pintu.

ā€œPlease.ā€ Deri membuka pintu selebar-lebarnya dan memberi isyarat agar aku masuk dengan tangannya yang menunjuk ruang tamu yang segera terlihat dari ambang pintu.

ā€œNggak usah. Gue mau nganterin ini aja dari ibu. Lagian gue mau buru-buru makan. Bye.ā€

Kupaksa Deri untuk menerima nampan yang kubawa tanpa menghiraukan niat baiknya untuk mempersilakan tamunya untuk duduk atau menerima segelas air sebagai tatakrama yang biasa dilakukan.


Aku kembali saat ayah dan ibu sudah rapi di meja makan kami yang minimalis dan siap untuk melahap masakan ibu sore ini. Tak banyak yang kami bicarakan di meja makan selain kursus Bahasa Inggris yang sengaja aku ambil untuk mengikuti test IELTS guna menggenapi persyaratan beasiswa S2 ku.

Kamar menjadi tujuanku berikutnya setelah selesai membantu ibu mencuci semua piring kotor yang kami pakai untuk makan malam, sementara ibu dan ayah sudah bersiap untuk menonton acara TV kesayangan mereka.

Hpku berdering. Nomor tak dikenal. Aku tak menerimanya, tak ada alasan untuk menerima telepon dari nomor yang tidak aku simpan.

ā€œIt’s me Deri.ā€

Menit berikutnya malah pesan Whatsapp yang aku terima. Aku menangkupkan HP tak ingin melihatnya dan sibuk dengan semua simulasi soal yang ada di hadapanku. Dua jam telah berlalu, aku tak menyadarinya. Jam pink yang juga pilihan ibu sudah menunjukan pukul 9 dan sudah waktunya aku membersihkan diri sebelum terjun diatas kasurku.


Kudengar suara cicit burung yang masih sering terdengar di pagi hari, dan itu tandanya aku harus bangun dan meminum susu pagiku.

ā€œHari ini nggak les kan. Ikut ibu yu ke rumah Tante Mira.ā€

ā€œNo thanks. Anya mau rebahan sambil kerjain soal latihan.ā€

ā€œNgebet banget kamu.ā€

ā€œKalo Anya bisa dapet beasiswanya kan ibu juga yang bangga. Ya kan yah.ā€

Ayah hanya mengangguk dan sibuk dengan koran langganan kami di tangannya seraya menyesap teh melati yang tentunya disiapkan ibu. Keluarga kami tak memiliki kebiasaan sarapan, kami hanya perlu mengisi perut dengan teh, susu atau kopi.

Rumah sudah sepi, ibu berangkat pagi sekali dengan ayah. Searah ke kantor ayah katanya, lumayan tidak usah nyetir sendiri. Dan aku kembali tenggelam dalam soal yang sangat aku senangi saat ini, aku bahkan jatuh cinta pada setiap baris soal yang jumlahnya tidak kurang dari 50 ini.

Senyumku hilang saat suara bel berbunyi, sungguh sangat meganggu saat aku sedang berduaan dengan kesayanganku. Kulirik jam dengan jarum di angka 3 dan 4 sebelum beranjak dari kasurku menuju pintu yang sengaja aku kunci tentunya. Deri dan piring ibu yang diisinya dengan buah ada di depan pintu.

ā€œThank you.ā€ Ia menyodorkan nampan dan piringnya.

ā€œYou’re very welcome.ā€

ā€œNggak nawarin masuk?ā€

ā€œMau banget?ā€

ā€œIya lah.ā€

ā€œBahaya ngundang orang asing masuk ke rumah.ā€

ā€œI don’t wanna be stranger for you.ā€

ā€œI do.ā€

Kutinggalkan Deri dengan nampan di tanganku, sebelum naik kembali ke kamarku dapur menjadi perhentian pertama untuk meletakkan nampan dan piring yang berisi buah. Aku kembali duduk di meja belajarku dan kembali dengan semua kertas-kertas di atas meja, aku hanya bertahan selama 5 menit saja. Dan akhirnya bangkit dari dudukku dan mendatangi jendela hanya untuk memastikan kalau Deri sudah tak ada disana. Tapi aku salah, ia masih berkeliaran di halaman rumahku. Ia melihat taman ibu sesekali. Dan kuputuskan untuk bertahan selama 20 menit kedepan, dia pasti pergi.

Aku sudah tak bisa berkonsentrasi pada soal-soal yang begitu aku sayangi, yang ada hanya satu kata yang berputar terus dan terus dalam kepalaku. Pergi. Namun saat setelah 20 menit aku kembali melihat keluar jendela, Deri masih ada disana. Ia masih berkeliling di taman ibu dan membuatku tentu saja menjadi merasa bersalah. Apa aku terlalu kejam? Padahal tak ada hal salah yang dilakukannya.

Lima menit kemudian aku membuka pintu dan Deri masih ada disana. Ia berbalik dan tersenyum. Manis. Dan aku tersihir.

ā€œYou may enter strangerā€ aku mempersilakan Deri memasuki rumah ā€œlistenā€¦ā€ lanjutku sebelum mempersilakannya duduk.

ā€œAnyaā€¦ā€

Kami terdiam beberapa detik.

ā€œAda tempat yang pengen aku datengin. Tapi kalo sendirian iseng banget.ā€

Aku mematung. Masih belum mengerti, Deri minta untuk tak dianggap orang asing dan aku megundangnya masuk. Tapi sekarang ia sudah ingin pergi. Apa aku memang salah telah mengundangnya datang.

ā€œWell, lu boleh pergi kalo gitu.ā€

ā€œAku mau kamu ikut.ā€

ā€œI’m busy.ā€

ā€œKalo perjalanan nanti membosankan, kamu boleh nggak ngomong lagi sama aku.ā€

ā€œNanti?ā€

ā€œIya. Kamu kan bilang lagi sibuk. Sibuknya sekarang kan.ā€

Otakku kehabisan oksigen, terlalu banyak kuhirup untuk asupan jantungku. Kuhela nafas panjang dan menunjuk kursi tamu kami agar Deri bisa duduk, dan setelahnya aku pergi ke dapur untuk mendapat segelas air untuk sang tamu yang baru pertama kali berkunjung.

ā€œJadi lu mau ajak gue kemana?ā€

ā€œAku denger temen-temen pergi ke Cartil, bagus katanya. Mau kesana mumpung masih disini.ā€

ā€œMumpung?.ā€

Mumpung yang aku tanyakan berakhir pada obrolan panjang kami, dan akhirnya Deri menceritakan dirinya yang berakhir di rumah kosong sebelah rumah. Rumah kosong itu milik om nya yang tinggal di German. Ia menempatinya untuk sementara waktu karena megambil training pilotnya di Bandung Pilot Academy. Sekalian dengan Bahasa Inggris, ia sedang dalam tahap negosiasi dengan airlines Singapore untuk menjadi pilot disana. Dan ia merasa Bahasa Inggris nya perlu peningkatan saat tes, hingga akhirnya kami berada di kelas yang sama di TBI.

Sudah jam 5 saat aku melirik jam di dinding ruang tamu.

ā€œI think we better prepare now.ā€ Deri bangkit dari duduknya.

ā€œAh ok.ā€


Kututup pintu saat Deri pamit untuk bersiap, pun aku yang segera menuju kamar dan bersegera bersiap untuk pergi dengan Deri. Kurasa sihirnya sudah menguasaiku, hanya dalam waktu satu jam setengah kami bisa mengobrol dengan santai tanpa ada beban dan saling mengimbangi. Kami merasa bahwa kami telah saling mengenal bahkan sebelum kami dilahirkan. Semua hampir sama, dalam satu garis yang sama.

ā€œKemana Nya?ā€ tanya ayah yang berpapasan denganku di pintu depan.

ā€œAnya mau pergi sebentar. Ibu?ā€

ā€œMasih betah katanya. Mungkin nginep.ā€

ā€œAlright. Bye ayah.ā€

ā€œBye.ā€

Kakiku melangkah dengan ringan menuju rumah kosong yang biasa aku hindari, tapi sekarang malah aku datangi dengan sukarela dan senang hati. Seseorang menungguku disana, mungkin akan membawaku lari entah kemana. Tapi aku tak peduli.

Deri baru saja keluar saat aku sudah ada di teras rumahnya. Ia cukup terkejut karena keberadaanku.

ā€œAmazing.ā€

ā€œKenapa?ā€

ā€œBiasanya dandan cewek lama.ā€

ā€œGue setengah cowok.ā€

Ia menahan tawa yang membuat lesung pipinya semakin terlihat, dan manis. Tak sadar aku ikut tertawa. Moment itu berlalu saat Deri mengarahkanku menuju BMW putih di samping rumah, ia membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk. Tak lupa memasangkan sabuk pengaman sebelum ia menutup pintunya.

Perlu 30 menit untuk sampai ke tempat yang dimaksud Deri. Caringin Tilu, tempat yang banyak dikunjungi orang ternyata. Tentu saja mereka ingin melihat pemandangan indah yang kami lihat saat ini. Tak heran Deri bersikeras ingin kesini, tempat ini memang layak untuk ada di dalam daftar tempat yang harus dikunjungi.


ā€œSo, namanya Rian.ā€ Deri menutup pembiacaraan yang sudah berlangsung selama satu jam.

Kini giliran aku yang membeberkan kehidupanku. Termasuk Rian, lelaki yang mencampakanku 3 bulan lalu dan aku masih sangat terluka, hingga akhirnya aku menemui Deri yang sekarang. Deri yang bisa menjadi pendengar dan pembicara yang sangat baik. Bukan Deri yang pendiam saat di kelas dan hanya bertindak sebagai murid yang pasif.

ā€œThanks.ā€ Kataku akhirnya karena ia sudah mau bersabar mendengarkanku.

ā€œYou’re very welcome.ā€

Deri membalik tubuhku untuk melihat hamparan kota Bandung dengan kerlap-kerlip lampu di malam hari. Ia menyampirkan jas yang dipakainya, dan memelukku dari belakang. Hangat, tentu saja. Hatikuku pun mulai menghangat.


Sumber gambar : Google


Entah bagaimana bisa aku jatuh cinta dalam hitungan jam. Apakah aku bodoh? Apakah ada yang lebih parah dari aku? Bisakah orang-orang juga jatuh cinta dalam hitungan jam atau bahkan menit? Entahlah. Aku tak ingin menghiraukannya. Aku hanya ingin menikmati waktu yang berharga bersama Deri sebelum ia pergi.

ā€œKayaknya baru Januari ada kelanjutannya. Yang penting aku ambil training yang penting dulu.ā€

Begitulah penjelasan Deri dalam perjalanan pulang kami saat aku bertanya kapan ia akan meninggalkan Bandung. Kota kelahiran ibunya.


Dalam sekejap waktu, aku bisa merubah pandanganku terhadap Deri. Aku bahkan menyukainya, saat ini. Aku mengakuinya pada diriku sendiri dan menjadi terus salah tingkah dan gugup setiap kali bersamanya.

Satu dua bulan berlalu, ibu dan ayah tak merasa heran mengapa aku dan Deri sering menghabiskan waktu bersama karena kami satu kelas di tempat les. Dan tentu saja, ada lebih banyak hal yang kami bahas daripada sekedar kelas Bahasa Inggris kami. Aku bahkan lebih banyak menjelajah Kota Kembang bersama Deri, dulu tak pernah. Aku cukup introvert hingga aku bertemu dengan seseorang yang bisa mengetuk pintu dan mengeluarkan aku dari ruangan tempat aku bersembunyi.


Deri. Lelaki yang saat ini tengah aku pandang dengan penuh perasaan cinta, dan tak ingin terpisah rasanya. Ingin seperti ini selamanya, sepertinya aku telah menjadi budak cinta yang sering diperbincangkan orang lain. Ku genggam erat tangan Deri dan tak ingin melepasnya.

ā€œTangan aku ada lemnya ya.ā€ Deri mengangkat tanganku yang juga di genggamnya.

ā€œIya… buktinya aku nggak bisa lepas.ā€ Kugoyangkan tangan yang diangkatnya.

Saat ini kami sedang berada di salah satu cafƩ di Dago, sering kami kesini setelah kelas kami selesai atau bahkan di hari-hari lain setelah Deri selesai dengan trainingnya di bandara.

ā€œAnyaaā€¦ā€

ā€œKenapa? Jangan tiba-tiba serius. Aku takut.ā€

ā€œSeneng aja manggil nama kamu sebelum aku pergi.ā€

ā€œā€¦ā€ Aku diam.

Deri hanya tersenyum dan membelai pipiku. Ada yang aneh dengan wajahnya.

ā€œJangan bilang kamu mau putus sama aku.ā€

Deri hanya tersenyum lagi. Hanya saja… kini senyumannya memiliki arti lain. Ia sedih.

ā€œAnyaaa.ā€

ā€œYou know I love you so much and it never ends. Ngerti kan.ā€

ā€œAnyaaaa.ā€

Suasana sudah tak lagi sama. Semua hambar dan kacau dan aku meminta pulang.

Malam Minggu ini sungguh kelabu, berbeda dengan malam-malam Minggu yang telah berlalu. Semua terasa menyenangkan dan membahagiakan, aku dan Deri hanya berbagi suka, dan meski duka yang kami bagi, kami bisa menguatkan satu sama lain. Tapi kali ini gelagat Deri telah menunjukan bahwa ia tak lama lagi akan segera meninggalkanku setelah 3 bulan lamanya bersama.


Hari berikutnya Deri tak datang ke rumah, ia bahkan tak memberiku kabar meski hanya lewat pesan singkat atau telepon. Aku ingin menghubunginya, tapi ego dan prasangka burukku lebih besar hingga tak menghubunginya.

Aku turun karena mendengar suara selain suara ayah dan ibu. Itu Deri, ia sedang mengobrol dengan ayah dan ibu. Apakah ia merindukanku? Atau mungkin hanya menanyakan keberadaanku? Aku menyelinap menuruni tangga untuk mencuri dengar apa yang dibicarakannya dengan ayah dan ibu.

ā€œSaya nggak ada niatan untuk bikin Anya sakit hati pa, bu. Hanya saja saya memang harus pergi, mungkin kembali atau tidak.ā€

Ayah dan ibu bergeming, mereka sepertinya tak tahu harus merespon apa terhadap Deri.

ā€œSaya senang dan bahagia sama Anya. Tak ini harus disudahi, kemungkinan saya tidak kembali yang membuat saya tidak mau menyakiti Anya lebih dalam.ā€

Lagi-lagi ibu dan ayah diam. Tak ada jawaban dari mereka.

ā€œBapak mengerti. Terima kasih banyak sudah dengan berani mengembalikan Anya dan perasaannya kepada kami secara langsung. Bapak harap kamu bisa hidup lebih baik dengan cita-cita yang sudah ada di genggaman. Kamu bisa kembali kapan saja.ā€

Tak sadar aku meneteskan air mata dan berlari menuju kamar untuk menangis sepuasnya. Berusaha meredakan rasa sakit yang terus menggelitik perasaanku dan menghimpit dadaku. Mengapa Deri datang hanya untuk pergi, meski baik-baik. Ini tetap menyakitkan dan tak ada bedanya dengan Rian.


Sudah seminggu sejak Deri berpamitan, aku masih belum rela. Tentu saja. Kenangan kami tak bisa begitu saja terhapuskan meski hanya 3 bulan. Deri yang selalu ada setiap hari di sampingku, mendukung apa saja yang aku inginkan, menghapus setiap tetes air mata yang dilihatnya. Membawakan segunung kebahagian yang lebih dan lebih lagi setiap harinya, namun sekarang tak ada. Semuanya hilang dan menjadi hampa.

ComentƔrios


JOIN MY MAILING LIST

Thanks for submitting!

© 2023 by Lovely Little Things. Proudly created with Wix.com

  • YouTube
  • Pinterest
  • Instagram
  • Facebook
bottom of page